Tangguh dan Tumbuh dengan Demokrasi Berkualitas

August 19, 2021

}

11:54


Kita patut bersyukur bisa mempertahankan keutuhan kemerdekaan sampai hari ini dengan usianya yang ke 76 tahun. Tentu, kita berharap akan merayakan kemerdekaan ini seribu tahun lagi.  Kita pernah diuji dengan banyak cobaan yang berupaya merusak persatuan dan kesatuan. Tapi sayangnya, kita tidak pernah sampai pada tahap balkanisasi, karena sampai dengan hari ini dan seterusnya, kita meyakini nilai kemerdekaan, semangat persatuan, dan gelora kebenaran itu harga mati yang harus terus dipertahankan biarpun esok langit runtuh.

Kalau dijelaskan secara akademik, kenapa kita bisa tetap kuat? Mungkin jawabannya, ada pada kepercayaan terhadap yang fundamental yang sudah menjadi budaya dalam setiap diri warga negaranya begitu tulis Francis Fukuyama dalam bukunya “Trust: the Social Virtues and the Creation of Prosperity (1997). Kepercayaan memang sangat ditentukan oleh budaya. Dari kepercayaan itulah, kemudian menumbuhkan harapan yang kita upayakan dengan budaya jujur, perilaku saling membantu, dan menghormati satu sama lain.

Bahkan perihal kepercayaan ini Yuval Noah Harari berulang kali menuliskan di tiga bukunya yang menjadi best sellers-nya itu “lewat kepecayaanlah  dibangun diatas mitoslah  orang-orang kemudian membangun peradaban” .Tapi saya tidak sependapat dengan penulis Israel ini, karena  semangat pemersatu kita bukanlah sebuah mitos yang selalu identik dengan khayalan, faktanya semangat kebhinekaan kita nyata dan tertempa lewat berbagai kepahitan.

Kini ditengah-tengah era pandemi dengan krisis multidimensional-nya, kita diuji di tengah ayunan pendulum dialektika vitalitas politik antara kondisi yang penuh keyakinan dan kondisi yang penuh skeptisisme  (Michael Oakeshot, 1998). Tentu sudah menjadi tugas bagi mereka yang tersadarkan untuk dapat mempertahankan posisi keyakinan yang lebih lama  berbanding skeptisisme yang bisa memantik bara bagi kehancuran bagi negara yang multikulutral. Tentu, kita tidak ingin kejadian 1965,1998 apalagi perang etnik maupun agama di beberapa daerah terjadi lagi di Indonesia.

Demokrasi yang berkualitas tentunya harus menjadi tumpuan untuk mempertahankan keyakinan kita akan keindonesiaan. Karena dari sinilah, semua usaha untuk mencapai tujuan kemerdekaan bisa kita penuhi.

Tapi mengkualitaskan demokrasi tidak cukup hanya dengan memasang baliho, mengobral janji, apalagi sekadar memahaminya sebagai agenda formal 5 tahunan yang selalu saja membuat masyarakat kita terpecah lebih lama.Demokrasi itu bukan urusan pemenuhan perut ke bawah. Apalagi hanya urusan hasrat otak yang berupaya menjaga tirani dengan merusak hajat hidup orang lain, tapi demokrasi adalah proses pembebasan penderitaan rakyat lewat jalan yang rasional, sekaligus humanis.

Untuk mencapai demokrasi yang berkualitas, memang perlu upaya-upaya Pendidikan untuk melampui aspek formalitas yang cukup menghabiskan anggaran. Perlu adanya  kritisme yang harus selalu ditanamkam dalam setiap kepala, agar mereka tidak terperdaya dengan politik-politik yang jauh dari kemanusiaan agar mereka dapat mendiagnosa toxic sosial yang bisa merusak demokrasi seperti oligarki, budaya korupsi, politik yang membajak agama sebagai alat sentiment, manipulasi suara, dan masih banyak lagi.

Di usia yang hampir seabad, demokrasi Indonesia masih belum berkualitas jika  mengutip kesimpulan dari jurnal berjudul The Decline of Indonesia Democracy dari Thomas power dan Eve Warbuton (2020) di situ dikatakan jika kekuatan militer kembali menyusun pengaruh politiknya, partai politik ditingkat akar rumput tidak pernah mendidik masyarakat  akan pemahaman demokrasi apalagi kebangsaan tapi justru berebut kepentingan, media dikuasai golongan elite yang dekat dengan pemerintah, sehingga kritik dari sumber alternatif akan berhadapan dengan hukum, intoleransi merajalela bahkan cenderung di pelihara oleh penguasa, kelompok masyarakat sipil terpolarisasi dalam  nalar oposisional yang cenderung memaksa tafsir sepihak kepada pihak lain, dan mereka yang mendapatkan amanah malah menyelewengkan. Bahkan masyarakat pun menormalisasi praktik itu asalkan mendapat bagian.

Kalau ingin mencari kambing hitam, kita semua berperan dalam menyumbang kesalahan ini tapi menyalahkan bukan sebuah solusi. gerak-gerak kerja harus dimulai untuk mengupayakan perbaikan kualitas  demokrasi dengan talenta yang kita bisa. Bagi para intelektual dan aktivis, serta menyebarkan pendidikan kritis tentang demokrasi di tengah-tengah masyarakat untuk menghasilkan intelektual organik yang membangun basis gerakan di akar rumput yang mengawal jalannya demokrasi.

Tapi, kalau itu terlampaui rumit. Manfaatkanlah, ketajaman jarimu sebagai pemuda yang oleh Rizal, seorang pejuang Filipina itu dikatakan sebagai harapan progresif suatu bangsa untuk mulai memberikan counter narasi yang bersifat edukatif tentang demokrasi yang berkualitas.

Saya percaya, untuk para pengikut dan pengamal nilai demokrasi, selalu ada usaha untuk menjadikan negara-bangsa Indonesia yang kita cintai ini menjadi negara totaliter dan negara kekuasaan, entah itu dikemas dalam bahasa negara demokrasi terpimpin, negara demokrasi pancasila, atau negara demokrasi langsung .

Tanpa belajar, sekaligus meneladani para pemikir yang secara konsisten mengerjakan apa yang dia pelajari tentang demokrasi, lalu diamalkan dalam laku keseharian, sulit bagi kita untuk menyerahkan kekuasaan dan belajar dari kekacauan pemikiran seorang petinggi negara-bangsa ini yang esuk dele sore tempe, maka berkenalan dengan karya-karya terbaik di bidang ini, agar demokrasi yang kita bicarakan tidak sekadar imaji lalu dipraktikkan dalam retorika.

Artikel Lainnya

Komentar

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Penulis

Mansurni Abadi

Ketua Divisi Intelektual PPI Universitas Kebangsaan Malaysia. Anggota Penelitian dan Kajian Strategis PPI Malaysia

Share artikel ini

Follow Instagram IPI IRAN

Baca Juga