Perempuan adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dianugrahi akal dan potensi yang sama dengan laki-laki, sehingga memiliki tanggung jawab yang sama dalam ber-amar ma’ruf nahi mungkar. Masing-masing memiliki kewajiban yang sama terhadap Tuhan, diri, dan masyarakat. Dari sinilah, perempuan juga merasa sadar akan tanggungjawabnya terkhusus sebagai bagian dari masyarakat, abdi negara Indonesia sehingga perlu dengan maksimal memberikan yang terbaik untuk kejayaan negerinya.
Untuk mengkaji perkembangan pertumbuhan peran perempuan untuk masa sekarang, kita membutuhkan sejarah otentik tentang kehadiran perempuan dalam meraih, mempertahankan dan menjaga kemerdekaan Republik tercinta dari masa ke masa. Sebab sebagaimana patut diketahui, tingkat kemajuan suatu masyarakat ditetapkan oleh tinggi rendahnya tingkat kedudukan perempuan didalam masyarakat tersebut.
Pada masa kolonial, kita tidak asing lagi dengan deretan nama pejuang perempuan Indonesia yang turut andil baik dalam dunia pendidikan, politik bahkan militer yang turut berperan sebagai gerilyawan melawan penjajah. Ada Hadjah Rangkayo Rasuna Said (1910-1965), perempuan dari Minangkabau, seorang orator pejuang kemerdekaan Indonesia dan melalui organisasi Sarekat Rakyat, dan Persatuan Muslim Indonesia (PMI), dia sering mengecam kekejaman dan ketidakadilan pemerintah Belanda. Dia pernah dipenjara pada 1932 di Semarang oleh pemerintah Belanda dan stelah Indonesia merdeka aktif berjuang kembali menyuarakan cita-citanya melalui parlemen. Perempuan yang mengangkat senjata diantaranya adalah Martha Christina Tiahahu (1800-1818) dari Maluku yang berjuang melawan agresi Belanda sejak diusia yang terhitung muda, 17 tahun. Dalam dunia pendidikan, Dewi Sartika (1884-1947) tokoh perempuan asal Sunda mendirikan sekolah perempuan dimasanya, berjuang bersama kedua saudarinya mencerdaskan kaum perempuan pribumi. Dan masih banyak tokoh-tokoh lainnya yang memainkan perannya masing-masing dalam meraih kemerdekaan tanah lahirnya, Indonesia.
Pasca kolonial pada tahun 1945-1966, gerakan-gerakan perempuan dengan perannya memberikan warna kemerdekaan bangsa Indonesia. Ada gerakan Wanita Marhaen, sayap perempuan partai Nasionalis yang menolak perbedaan laki-laki dan perempuan. Wanita Marhaen ini menginginkan perempuan dan laki-laki dalam satu barisan, satu wadah organisasi mengobarkan massa aksi, bersama-sama terjun kedalam satu kawah, yang nanti akan meleburkan stelsel kapitalisme dan stelsel imperialisme.
Juga ada PERWARI (Persatuan Wanita Republik Indonesia) berdiri tanggal 17 Desember 1945. Disaat berlangsungnya perang, PERWARI yang merupakan kegiatan “homefront”, beraktifitas di bagian dapur umum untuk para tentara dan membantu kegitaan-kegiatan Palang Merah Indonesia. Setelah kemerdekaan diraih, PERWARI menggiatkan diri dalam mengisi kemerdekaan dengan memfokuskan diri dalam bidang pendidikan. Selain wanita Marhaen dan PERWARI, indonesia juga diwarnai dengan kelihaian dan kecerdasan kaum perempuan dalam memajukan bangsa, GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) yang dulunya adalah GERWIS (Gerakan Wanita Sadar) yang aktif di tahun 1954. Gerwani merupakan gerakan terbesar dan paling berpengaruh dalam sejarah sehingga sering dikait-kaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), gerakan yang memiliki anggota paling banyak diantara organisasi perempuan revolusioner, 1,5 juta perempuan. Sebuah angka fantastis dalam sebuah organisasi. Organisasi independen ini, menyentuh seluruh lapisan masyarakat dengan memberikan perhatian pada reformasi sistem hukum di Indonesia untuk membuat perempuan dan laki-laki sama di mata hukum termasuk hukum perkawinan, hak-hak buruh, dan nasionalisme Indonesia.
Gerwani juga memberikan dukungan individu untuk perempuan dan anak yang telah disalahgunakan atau ditinggalkan oleh suami mereka.
Sementara pada masa orde baru (1967-1998), awal dari sejarah kelam gerakan perempuan, sejarah mengalami distorsi dimana perempuan yang bergabung di Gerwani adalah perempuan tanpa peri kemanusiaan dan dengan tari-tarian bugilnya melakukan penyiksaan terhadap jendral dilobang buaya. Dimasa ini, masa 32 tahun lamanya, kaum perempuan tercerai berai tanpa wadah dan gerakan yang signifikan, gerakan perempuan seolah-olah mati bahkan dimatikan dengan munculnya organisasi-organisasi bentukan pemerintah, seperti Dharma Wanita yang isinya istri-istri PNS, kemudian ada PKK yang isinya istri-istri pejabat. Organisasi-organisasi tersebut memainkan perannya bahwa kewajiban perempuan itu adalah mengerjakan urusan-urusan domestik semata dalam istilah yang saat ini populer adalah 3-ur: kasur, dapur dan sumur.
Pelabelan-pelabelan ini dengan begitu mudahnya diterima secara langsung oleh perempuan-perempuan pada masa itu, dan ketika peran perempuan berada dalam ranah publik itu dianggap sebuah ke-abnormalan dan juga perempuan bahkan cenderung dijadikan alat komoditas politik oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya.
Setiap penindasan, akan lahir sebuah kesadaran, inilah yang muncul dipermukaan masa orde baru, dikala sebagian perempuan dinina bobokan dengan kegiatan-kegiatan 3 UR, lahir perempuan-perempuan kritis dan sadar akan hak-haknya, tidak bisa diam dengan ketertindasan yang dirasakan meski nyawa menjadi taruhannya, seperti tokoh yang memperjuangkan hak-hak buruh, Marsinah. Juga LSM Perempuan yang memiliki berbagai macam agenda kegiatannya, dari pengembangan ekonomi, advokasi kekerasan terhadap perempuan, hingga mengangkat kembali hak dipilih bagi perempuan untuk terwakilkan di parlemen. Begitu juga dilingkungan mahasiswa, lahir jiwa-jiwa sadar untuk mengkaji persoalan perempuan meski dalam tahap realita masih sulit bergerak, tetapi ini sudah menjadi nilai lebih.
Perjuangan terus berlanjut oleh Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang kemudian lahir Kepres nomor 181 tahun 1998 yang merumuskan terbentuknya sebuah lembaga yang bernama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang disingkat Komnas Perempuan. Adanya Komnas Perempuan yang menjadi inspirasi sebagian organisasi perempuan maka lahir gerakan-gerakan perempuan lain seperti Jurnal Perempuan, JARPUK, Fahmina, PEKKA, FAMM dan lain-lain. Meski demikian, masih banyak pekerjaan rumah bagi gerakan perempuan di Indonesia untuk memperjuangkan hak-haknya khususnya hak-hak kaum perempuan yang termarginalkan.
Dari sini perlu kembali ditegaskan bahwa kaum perempuan adalah aset, potensi dan investasi yang penting bagi Indonesia, yang dapat berkontribusi secara signifikan, sesuai kapabilitas dan kemampuannya. Setiap masa yang sudah digambarkan, bahwa perempuan memiliki kekuatan dalam mengubah kondisi, perempuan memiliki kegigihan dalam memperjuangkan dan mempertahakan sesuatu. Dalam konteks pembangunan, perempuan bisa memberikan perannya dalam memperbaiki kualitas generasi berikutnya, mengingat perempuan adalah pendidik pertama di keluarga. Dalam bidang perekonomian, peran perempuan juga tidak bisa dikecilkan. 35% usaha kecil dan menengah dikelola langsung oleh perempuan dan sebagian besar dari rumah sendiri, yang jenis usaha ini banyak memajukan perekonomian Indonesia. Dari partisipasi politik, proporsi perempuan yang berada di parlemen Indonesia mencapai angka 19,8%. Namun belum tercapainya kuota 30% perempuan dilegislatif, belum terpenuhinya semua hak, masih adanya perlakuan diskriminatif, masih adanya perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual dan perdagangan manusia termasuk kekerasan dalam rumah tangga, menunjukkan masih banyak tantangan yang harus dihadapi dalam upaya pemberdayaan perempuan untuk mencapai kesetaraan gender di Indonesia.
Benar adanya bahwa kita Indonesia sudah merdeka 74 tahun lamanya dari keterjajahan penjajah, namun merdeka secara manusiawi dan seratus persen, tetap perlu diperjuangkan agar penjajah-penjajah tidak datang baik itu secara materi atau penjajah secara pikiran. Kita tahu bersama bahwa perempuan adalah tonggak bagi keluarga dan masyarakat, jadi perempuan secara mental harus berdaya dan memiliki kemampuan untuk menjalankan tugas dan perannya tersebut. Disini perlu kerjasama semua pihak untuk mewujudkan hal tersebut. Sebagaimana yang dikatakan Presiden Soekarno, perempuan adalah tiang negara, artinya tegak dan kokohnya sebuah negara sangat bergantung pada peran dan kehadiran perempuan, karena itu potensi perempuan harus mendapat perhatian penuh dan terkelola dengan baik. Menurut penulis ada tiga langkah yang harus dilakukan segera dan secepatnya serta ditangani serius, yaitu akhiri kekerasan pada perempuan, baik verbal maupun fisik. Hentikan perdagangan manusia utamanya perempuan, serta akhiri kesenjangan ekonomi yang menjebak kaum perempuan termaginalkan dan tereksploitasi. Semangat kesadaran gender harus menjadi fokus utama pemerintah untuk memperjuangkan perubahan positif bagi kaum perempuan, khususnya yang menyangkut akses, partisipasi, kontrol dan peran perempuan dalam pembangunan.
Ketika semua isu yang telah dipaparkan diatas terkendali dan teratasi, maka menjadi keniscayaan perempuan akan punya ruang dan akses untuk bisa lebih memaksimalkan potensinya untuk memberikan manfaat besar bagi negara, bukan hanya kemajuan bagi pembangunan fisik namun juga dalam pembanguan manusia seutuhnya.
________
–Haryati–
Artikel ini meraih predikat terbaik II dalam Lomba Artikel Kemerdekaan RI 74 yang diadakan Departemen Keilmuan dan Intelektual IPI Iran 2019-2021
0 Comments