Pancasila dalam Perspektif Islam (Pancasila Implementasi Nilai-nilai Islam dalam Berbangsa dan Bernegara)

September 17, 2021

}

04:10


Foto: Enggran Eko Budianto

PENGANTAR

mencermati tema tersebut ada dua hal pokok yang sangat perinsipil yang harus dikaji secara seksama, kedua hal tersebut adalah Pancasila dan Islam itu sendiri. Pancasila pada hakikatnya adalah derivasi dan aktulisasi Islam (ajaran Islam).  Pancasila adalah pilar ideologis negara Indonesia, artinya ajaran islam yang menjadi pilar ideologi negara Indonesia. Sebuah pilar idiologis yang mengukuhkan pilar-pilar kemajemukan dan keragaman  pemikiran dan keagamaan … Nama Pancasila berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari dua kata, yaitu: “panca” yang berarti lima dan “sila” yang berarti prinsip atau asas. Hal ini menggambarkan bahwa  ada lima perinsip asasi yang menjadi pedoman penting bagi seluruh rakyat Indonesia dalam menata dan mengarungi hidup dan kehidupannya dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dari lima asas dan perinsip asasi tersebut asas pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah asas religius yang menaungi setiap sila-sila yang ada sebagai sumber nilai yang ensensial yaitu: kekeluargaan, keselarasan, kerakyatan dan keadilan.

Ketuhanan yang Maha Esa adalah ajaran ketauhidan yang merupakan ajaran yang sangat perinsipil turunan dari akidah Islam, dimana Islam terdiri dari tiga pilar utama yaitu: pertama adalah  Akidah (yang salah satunya adalah Tauhid); 2. hukum syariat (tata aturan dan perundang-undangan); 3. Ahlak (moralitas dan estetika). Dengan demikian orang atau masyarakat yang menganut sistem pancasila adalah orang atau masyarakat beragama (masyarakat religi), masyarakat yang berke-Tauhidan, masyarakat yang berke-Tuhanan yang Maha Esa, itulah hakikat dan subtansi  ajaran agama (Islam). Dengan begitu komplek dan luasnya ajaran dan sistem nilai yang terkandung dalam pancasila sebagai idiologi bangsa dan Islam sabagai agama paripurna. Maka penulis membatasi pembahasan dari dua variabel (Pancasila dan Islam) tersebut yaitu nilai-nilai religius yang terkandung dalam keduanya. Nilai religius cerminan dari sila pertama pancasila, yaitu ke-Tuhanan yang Maha Esa. Nilai religius cerminan dari akidah Islam yaitu Tauhid.

SUB-SUB PEMBAHASAN

Berdasarkan dari pengantar tersebut diatas, risalah ini akan mengetengahkan dua sub bahasan beriku:

  • Pertama, Sila Pertama Pancasila adalah Manifestasi dan Tajalli Ketauhidan Islam.
  • Kedua, Emplementasi nilai-nilai religius Pancasila sebagai nilai-nilai ketauhidan Islam.

PEMBAHASAN:

  1. Sila Pertama Pancasila adalah Manifestasi dan Tajalli Ketauhidan Islam

Agama Islam adalah agama tauhid yaitu agama  penyangkalan dan pengingkaran terhadap tuhan selain Tuhan Sang Pencipta, Yang Mahakuasa, Yang Maha Pengasi lagi Maha Penyayang (Maha Rahman lagi Maha Rahim). Hal ini ditegaskan dalam nash-nash agama Islam baik itu ayat maupun riwayat (hadits nabi). Hampir seluruh ayat-ayat Al-qur’an menjelaskan dan menegaskan ketauhidan, mulai dari ayat pertama Al-qur’an Allah berfirman: ‎﴿ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ﴾  “dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang”. (surah Al-fatihah:1), sampai ayat terakhir Al-qur’an Surah An-nas  ayat 6 Allah berfirman: ‎﴿ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ ﴾‏. Dengan demikian Nas Qur’an tumpuan ajaran utamanya adalah ketauhidan dan keesaan Tuhan.

Surah Al-fatihah adalah ummul kitab (ibunya ayat-ayat qur’an) dan juga miftahul Kitab (kunci ayat-ayat qur’an) semua ayat-ayat bertumpu pada ketauhidan dan keesaan Tuhan. Ayat pertama:﴿ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ﴾  adalah ayat yang selain terdapat dalam Al-qur-an juga terdapat didalam seluruh kitab dan mushab-mushab nabi-nabi terdahulu sebelum nabi Muhammad Saw.  ﴿ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ﴾  ini menjelaskan kepada kita bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan mengingat  dan menyebut namanya serta mengagungkan kebesaran dan kekuatannya. Mempertegas akan keberadaan dan keagungan kekuasaannya, bahwa tidak ada sesuatu yang manusia dan segala mahluk dapat di lakukaan selian dengan izin dan curahan rahmatnya.

Kemudia ayat kedua surah Al-fatihah Allah berfirman: ﴿ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴾ “Segala puji bagi Allah,Tuhan pemelihara alam semesta”.  Artinya, tidak ada yang layak dipuji selain Allah, semua pujian adalah untuk Tuhan dan khusus untuk Tuhan. Karena pemilik pujian iktiar keindahan dan keelokan serta kecantikan hakiki hanya Dia.  Keindahan dan keelokan serta kecantikan sejati berasal dari keberadaan sejati itu, dan Tuhan yang wujudnya maha sempurna yang tidak terbatas, memiliki dan menguasai keindahan dan wujud  terbatas. Manusia dan alam semesta (alam materi dan non materi) adalah wujud terbatas, wujud fakir, wujud miskin, ia wujud karena diwujudkan dan diadakan oleh wujud mutlak yang tak terbatas “Tuhan yang Maha Esa”, yang terdapat dalam sila pertama pancasila. Nilai religiuitas kebertuhan yang kapada yang esa dan ketauhidan seperti inilah yang harus terbangun dari masing-masing individu pada setiap orang, keluarga, masyarakat berbangsa dan bernegara. Setiap diri individu, keluarga, masyarakat bangsa harus memahami keterkaitannya dengan pemilik kekuasaan, sakral, suci, maha agung, wujud tak terbatas. (LEMHANAS RI, Implementasi nilai-nilai kebangsaan yang bersumber dari Pancasila, Hal 11). Dengan demikian kesadaran akan nilai speritual religius harus dibangung dan ditumbuh suburkan pada diri peribadi kemudian penjabarannya dalam keluarga, masyarakat, berbangsa dan negara. Dalam sebuah Hadits Rasulullah Saw bersabda: «مَنْ‏ عَرَفَ‏ نَفْسَهُ‏ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ» “Barang siapa yang mengenal dirinya maka sunggu akan mengenal Tuhannya”.

Hadits menjelaskan bahwa hanya seorang individu, keluarga, masyarakat dan bangsa yang memahami dirinya yang dapat mengenal Tuhannya. Pertanyaannya adalah bagaimana mengenal diri sendiri?

Mengenal diri individu sendiri, mengenal keluarga sendiri, mengenal masyarakat, mengenal bangsa sendiri  adalah mengenal mengenal hakikat diri kita sendiri, bahwa kita adalah manusia, mahluk sosial, mahluk yang tidak bisa lepas dari keluarga, tidak bisa lepas dari masyarakat, tidak bisa lepas dari kehidupan bangsa dan negara. Dengan mengetahui bahwa manusia adalah mahluk sosial maka intraksi sosial tidak bisa dielekan, tidak bisa dihindari. Dengan demikian setiap individu harus mengetahu hak dan kewajibannya masing-masing, berdasarkan tata aturan perundang-undangan yang merupakan kerangka dalam melakukan aktifitas, baik yang bersifat indiidu, maupun aktivitas yang bersifat sosial kemasyarakat.

Dengan pengenalan jati diri kemanusiaan inilah, manusia mengenal dirinya sebagi mahluk yang berbeda dengan mahluk yang lainnya. Manusia adalah mahluk termulia, karena ia adalah mahluk termulia, maka dengan sendirinya ia mamahami bahwa ada khalik pencipa, karena tidak mungkin ada mahluk (ciptaan) kalau tidak ada khalik (pencipta). Dan pencipta inilah pemilik mutlak yang dicipatakannya, karena Ia adalah pemilik mutlak maka Ia pulalah yang berkehendak mutlak. Walaupun manusia juga diberi ikhtiar namun iktiar majazi (bukan ikhtiar mutlak), dengan artian semua bisa difeto oleh Allah Swt sebagai pemilik ikhtiar dan kehendak hakiki. Manusia tidak memiliki apa-apa melainkan Allahlah pemilik sempurna. Dari sisi inilah manusia tidak boleh melakukan aniaya, baik terhadap dirinya sendiri, maupun terhadap selainnya. Berbuat aniaya adalah melanggar hak Tuhan yang Maha Esa. Berbuat aniaya pada diri sendiri dan orang lain termasuk dengan tidak mempertahankan hak privat individu, masyarakat, bangsa dan hak negara. Allah Tuhan yang Maha Esa senantiasa bersama dengan individu, gololanga dan sebuah bangsa dan negara yang mempertahankan haknya.

Dari sisi ini manusia senantiasa mendekatkan diri kepada yang maha kuasa pemilik segala pujian, Tuhan wujud yang tidak menyisahkan ruang pujian untuk yang lain. Tuhan pemilik keindahan sejati yang tak terbatas juga tidak meninggalkan ruang keindahan untuk yang lain, jadi semua pujian hanya untuk Dia. ‎‏Dengan kesadaran ini maka ketakutan atas segala hegemoni dari kekuatan manapun yang akan mengacam eksisnya sebauah masyarakat, bangsa dan negara akan dihadapi sepunuhnya dengan senantiasa mengharapkan pertolonganNya. Sabagimana ajaran semua agama-agama yang memerintahkan manusia untuk senantiasa manjaga dan membangkitkan fitrah kemanusiaannya yang merupakan penjabaran nilai-nilai spritual religius ketuhanannya.

Seluruh ajaran agama-agama, baik itu agama samawi (langit) seperti Islam, maupun agama ardhi (bumi) seprti buda memandang dua dimensi material dan spiritual bagi manusia dan menjelaskan kepadanya dua tahap dunia dan akhirat, yang  mengacu dan mengutamakan dan megingatkan akan  hari penghisaban. Dimana disanalah semuanya akan nampak hak-hak  setiap orang yang terzalimi, maupun hak-hak orang-orang yang menzalimi serta mendapatkan haknya masing-masing dan setiap penindas akan menyesali perbuatannya.

Ajaran Islam misalnya yang bertumpu pada nilai-nilai Tauhid yang terderivasi dan terjabarkan dalam nilai religius pancasila senantiasa menjunjung-tinggi nilai-nilai keadilan, kesetaraan dan persaudaraan, dan tidak ada yang memiliki keistimewaan dan keunggulan atas yang lainnya kecuali dengan ketakwaan dan berjihad di jalan Allah yaitu mempertahankan hak hak bangsa yang dibingkai dengan  pengetahuan kebenaran.

Islam yang bersandar penuh pada Nahs-nash Al-Qur’an dan riwayat-riwayat memperkenalkan dan mengajarkan ajaran ke-Tuhanan yang sangat baik, seperti pemaaf, taubat, dan murah hati kepada manusia. Mengajarkan  seseorang manusia untuk tidak merusak dirinya, tidak mancelakai sesamanya, lingkungannya dan sepenuhnya mencegah manusia untuk tidak ada kemungkinan orang untuk dihina dan menghina diri dan orang lain. (Baca ajaran murni semua agama-agama)

 

  1. IMPLEMENTASI NILAI-NILAI RELIGIUS KETAUHIDAN ISLAM DALAM SILA (KE-TUHANAN YANG MAHA ESA) PANCASILA DALAM BERBANGSA DAN BERNEGARA.

Disini akan dibahas

Jenis-jenis Tauhid serta Ciri-Ciri Ketauhidan Sejati.

Tauhid dibagi menjadi dua bagian: tauhid teoritis dan tauhid praktis.

  1. TAUHID TEORITIS

Adapun  tauhid teoritis dari kategori pengetahuan kognitif  yang merupakan pengantar  aplikasi, tindakan peraktis, dibagi menjadi tiga bagian:

Pertama: Monoteisme intrinsik (tauhid zati): Keyakinan bahwa Tuhan adalah satu (esa) dalam esensi (zat) dan tidak memiliki sekutu baginya (tiada duanya). Hal ini dijelaskan dalam firman Allah: ‎﴿ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴾ “Katakanlah (Muhammad) ‘Dialah Allah Tuhan yang Maha Esa”.  ‎﴿ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴾‏ “Allah tidak membutuhkan, tapi (dibutuhkan)”. (Qur’an Surah Al-ikhlas:1 dan 2). Tuhan tidak ada yang serupa denganNya, sebagaimana dalam firmanNya: ﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ ﴾ “tidak adapun yang serupa deganNya”. (Surah Asy-syura:11). (Pelajaran Tauhid bagian akidah Qur’an. Hal 95)

Kedua: Monoteisme penyifatanNya (Tauhid sifati)): Keyakinan bahwa Tuhan memiliki satu kesatuan sifat,  demikian juga  sifat-sifat Tuhan adalah satu kesatuan dengan Zat dan esensi-Nya, yang pada hakikatnya sifat-sifatNya muncul dan tertajalli dari zat dan esensiNya itu sendiri.  Beda halnya dengan penyifatan manusia, dimana sifat-sifat manusia beda dengan esensi zat dan hakikatnya, misalnya manusia mungkin ada, tetapi tidak berilmu, cakap, dan hidup. Tetapi sifat-sifat Tuhan satu kesatuan dengan esensi-Nya dengan dengan Istilah lain sifat-sifatNya pada hakikatnya zatNya dan esensi-Nya itu seendiri. Sebagaimana Allah berfirman: ‎﴿ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ﴾ “Dialah yang maha mendengar dan maha melihat”. (surah An-‘am:115). Dalam ayat lain Allah berfirman: ﴿ اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ﴾‏  “Allah tidak ada Tuhan selain Dia maha kekal dan abadi”. (surah Al-Baqarah:255). (Pelajaran Tauhid bagian akidah Qur’an, hal 100)

Ketiga:  Monoteisme perbuatan (tauhid fi’li): Keyakinan bahwa Tuhan memiliki satu kesatuan tindakan dan  perbuatan-Nya dan tidak memiliki sekutu baginya dalam melakukan hal tersebut. Mahakuasa atas alam semesta dan tidak ada perubahan atau kekuasaan hakiki  dialam jagat raya ini, kecuali semuanya kembali ke zat dan esensi maha suciNya. Sebagaiman dalam sebuah zikir yang sangat masyhur disebutkan: «لا حَوْلَ وَ لا قُوَّةَ اِلّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيم‏» “Tidak ada kekuatan dan kekuasaan kecuali dari Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Agung.” Segala sesuatu yang terdapat di alam semesta ini adalah sebab dan atas izin penyebab (sebab hakiki) yang denganNya segala sebab berpengaruh. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah kaidah filsafat: «لا مُؤَثِّرَ فِي الْوُجُودِ اِلَّا الله» “Tidak ada sesuatu yang berpengaruh dalam wujud kecuali Allah”. Ini berarti bahwa di dunia, tidak ada penyebab aktif (penyebab aktif adalah penyebab yang mengadakan dan mewujud akibatnya) yang nyata kecuali Tuhan (wajibul wujud). (Pelajaran Tauhid bagian akidah Qur’an, Hal 102)

Sebagai misal: dokter dan obatnya, menyembuhkan dengan seizin penyebabnya, api membakar dengan seizin penyebabnya, pisau mengiris dengan seizin penyebabnya, dan tidak satupun dari mereka adalah pekerja mandiri.

Sama seperti ketika Allah Swt mengambil kekuatan mengiris dan memotong dari pisau Nabi Ibrahim (as) sehingga pisau tidak dapat memotong leher Nabi Ismail (as). Demikian juga Allah mengambil kekuatan membakar dari api Nimrod sehingga  api tidak dapat membakar Nabi Ibrahim (as).

Dengan demikian ketiga bagian dari monoteisme teoretis ini kembali ke satu hakikat dan itu adalah menegaskan bahwa alam semesta memiliki satu pencipta, memiliki satu pengatur (pendesain) yang disebut Esa dalam penciptaan dan pengaturannya.

  1. TAUHID PRAKTIS.

Bagian kedua dari tauhid berkaitan dengan tauhid ibadah atau tauhid praktis dan sangat penting sehingga tanpa itu, meskipun manusia percaya pada tauhid zati, tauhid sifati dan tauhid fi’li (perbuatan), pada hakikatnya ia masih belum bisa disebut bertauhid hakiki. Karena, benar bahwa ia bertauhid pada tingkatan kepercayaan. Tetapi di bagian tindakan dan aplikasinya adalah politeisme (musyrik) menyekutukan Allah. Tentu saja, musyrik dalam pengertian disini bukan berarti penyembah berhala, tetapi seorang hamba manjadi hamba terhadap jiwanya sendiri dan sekaligus menjadi seorang hamba Allah Swt. Allah berfirman:  ﴿ اِيّاكَ نَعْبُدُ وَ اِيّاكَ نَسْتَعينُ ﴾ “hanya kepadaMulah kami menyembah dan hanya kepadaMulah kami memintak dan mengharapkan pertolongan”. (surah Al-fatihah:6). Demikian juga dalam ayat yang lain Allah berfirman:  ‏﴿ لٰا اَعْبُدُ ما تَعْبُدُونَ ﴾‏ “Akutidak akan menyembah apa yang kalian sembah”. Kedua ayat tersebut menegaskan ketauhidan (ke –esa-an) peraktis dan ketauhidan penghambaan. Disebutkan dalam salah satu riwayat dari Nabi Saw bersabda: «مَنْ قالَ لٰا اِلهَ اِلَّا اللّهُ فَلَنْ يَلِجَ مَلَكُوتَ السَّماءِ حَتّى يُتِمَّ قَوْلَهُ بِعَمَلٍ صالِح»Barang siapa mengucapkan (La ilaha illa Allah) di lidahnya, dia tidak akan menemukan (efek dan pengaruhnya) didalam (batin langit malakut)  alam semesta sampai kalimat ini diaktualkan dan diaktualkan dalam amal perbuatan (amal saleh)”. (Jawad amuli, ayatullah.  rahasia-rahasia Ibadah, jil 1 hal 298)  

Pernyataan ini menegaskan bahwa manusia tidak dianggap bertauhid hanya karena mempercayai dan meyakini ke-esaan Tuhannya yang mengatakan bahwa iman hanya masalah hati dan kalbu, tetap harus terbukti dengan perbuatan dan amalan shaleh yang dibingkai dengan moralitas. Dengan demikian Allah senantiasa menggandengkan kalimat iman dan amal shaleh di dalam Al-qur’an, seperti dalam firmanNya: ﴿ آمَنُوا وَ عَمِلُوا الصّالِحاتِ ﴾  “beriman dan berbuat amal shalehlah kalian”. (surah angkabut: 58)

 

KESIMPULAN

Orang yang beragama, orang mukmin, orang yang berke-Tuhanan yang Maha Esa (orang yang bertauhid) memiliki dua karakteristik Tauhid : ketauhidan yang normatif  dan ketauhidan emperik. Makna ketauhidan normatif adalah manusia bertauhid dari sisi kepecayaan dan keberimanan, dari sisi kepercayaan dan keberimanan manusia ini, ia disebut muslim, karena percaya dan beriman kepada Allah Tuhan yang Maha Esa. Namun kepercayaan dan keimananan  serta niat tidak cukup, melainkan harus diiringi dengan tauhid empirik (aktualisasi Tauhid). Tauhid empirik adalah nilai-nilai tauhid harus dijabarkan dalam tindakan dan perbuatan yaitu perbuatan shaleh perbuatan yang diridhai Allah Tuhan yang Maha Esa. Yang pada hakikatnya inilah ajaran ketuhanan Pancasila sesungguhnya, yaitu sejalan dan seiringnya kepercayaan dan amal perbuatan, dengan kata lain kepercayaan diridhoi Allah Swt  juga perbuatannya benar dan diridhoi Allah. Jika seseorang memiliki kepercayaan nyata dan benar, tetapi tidak teraktualisasi  kebaikan dalam perbuatan atau  tidak terlihat dalam tindakannya, dia tidak dianggap masih belum dianggap bertauhid, tidak bertauhid berarti tidak mengamalkan sila pertama Pancasila (ketuhanan yang maha esa) yang merupakan inti ajaran religius dari idiologi bangsa dan negara.

Dengan demikian masyarakat negara besar Indonesia sebagai masyarakat beragama yang menganut ajaran ketauhidan Pancasila sebagai derivasi dari ajaran suci tauhid sebagai ajaran pokok dari setiap agama, terutama agama Islam, maka bangsa ini seyogyanya berdiri kokoh diatas kakinya sendiri tanpa pernah goya dari berbagai tantangan baik tantangan dari dalam negeri maupun tantangan dari luar negeri. Dengan ajaran tauhid keagamaan terutama Islam yang terderivasi dan terimplementasi dalam nilai religius pancasila bangsa Indonesia mestinya tidak akan pernah grogi dan emperior dari ancaman hegemoni gelobal, baik itu dari Amerika serikat maupun dari Cina. Dengan ajaran tauhid keagamaan terutama Islam yang terderivasi dan terimplementasi dalam nilai religius pancasila seluruh wilayah toritorial (Tanah, air dan udara) bangsa dan negara tidak akan pernah terusik apalagi lepas dari wailayah kesatuan RI. Dengan nilai religius ketauhidan Pancasila, Pancasila dan NKRI harga mati.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Al-qur’an Karim
  2. Riwayat : Allama Majlisi, 1412, Biharul anwar Jil 66, Hal 402 qom,) (بحارالانوار، ج66، ص402).
  3. Tafsir Al-qur’an
  • Muhammad Khawajawi, Tafsir Al-quran karim, terbitan kedua, qom, 1366 syamsi.
  1. Jawad Amuli, Ayatullah, 1312 s, Rahasia-rahasia Ibadah (اسرار عبادات), jil 1, hal 298, qom,
  2. Ridha Berenjkar, Ustadz, Dr., Pelajaran Tauhid bagian akidah Qur’an. Terbitan pertama, Qom, Thn 1395 s,
  3. (LEMHANNAS RI, Implementasi nilai-nilai kebangsaan yang bersumber dari Pancasila, Hal 11)

Artikel Lainnya

Komentar

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Penulis

Kamaruddin P. S.Pd. Lc. MA.

Al Mustafa International University, Iran.

Share artikel ini

Follow Instagram IPI IRAN

Baca Juga

[wpb-random-posts-list]