Manusia melihat Jupiter di tahun 1879 dan Jupiter sekarang tentu jauh berbeda. Begitu pula dengan pelanet-pelanet lainnya, terutama Pluto di tahun 2003 tampak tidak menarik, namun sekarang manusia dapat melihat keindahannya walau dari jauh. Dengan menggunakan teknologi yang canggih di era sekarang manusia mampu menangkap kecantikan dari benda-benda langit yang mungkin dulunya manusia anggap mereka tidak cantik.
“Kamu kok Jerawatan, jelek banget.”
“Ih, bedak kamu tebel banget kayak pake topeng.”
“Kamu gendutan ya sekarang, ya ampun.”
“Kurus banget, kayak orang penyakitan.”
“Cantik pake filter doang, becanda filter!”
“Makannya luluran biar nggak item dekil gitu!.”
Kata “fisik” dan “wanita” mungkin dua hal yang dekat namun kita tidak bisa kita samakan. Maksudnya, kita tidak bisa melepaskan kata-kata sifat fisik seperti “cantik” atau “jelek”, “chubby” atau “kurus” dari wanita. Seperti sering kali kita mendengar “wanita itu jelek” atau “wanita itu cantik”. Jika kita pikirkan lagi lebih dalam, kedua hal itu pun mempunyai sisi yang berbeda, yaitu sisi yang tidak beririsan. Dengan kata lain wanita bukanlah hanya fisik, dan fisik bukan hanya tentang wanita. Wanita bukan hanya tentang paras cantik, dan paras cantik bukan juga hanya wanita.
Sebagai wanita, fisik saya tidak termasuk ke dalam Standar Kecantikan di Indonesia. Malahan tidak jarang saya menerima komentar negatif tentang fisik saya. Bukan hanya dari lawan jenis, dari sesama wanita pun saya pernah menerima komentar-komenatr negatif tersebut. Pada saat saya terbilang masih muda, dengan menerima perkataan negatif tersebut, itu sangat berdampak pada cara pandang saya kepada diri sendiri.
Perlahan saya mempercayai saya memang jelek. Lalu saya menjadi seseorang yang bisa menangis hanya karena bercemin saja. Tidak ada yang sedih, hanya pantulan bayangan di cermin yang membuat saya menangis. Saya pun mempunyai anggapan bahwa saya tidak pantas untuk beloved atau mendapatkan teman baru karena saya jelek. Tidak ada yang mau memberikan cintanya untuk seseorang jelek seperti saya. Bahkan sempat, ketika saya jalan, hunting photo bersama teman-teman kuliah, saya hanya menjadi tukang foto mereka saja, karena saya anggap, saya tidak berhak berada dalam satu frame dengan mereka yang cantik itu.
Pikiran itu terus meradang di alam bawah sadar, sampai saya menemukan atmosfer baru. Saya memutuskan untuk meneruskan studi di Iran yang mengharuskan saya hidup dengan suasana multi culture. Di sinilah saya menemukan cara pandang yang baru tentang kecantikan.
Menarik, karena kami datang dari berbagai negara untuk hidup bersama di satu asrama, kami mempunyai presfektif kecantikan yang berbeda-beda. Menurut orang Iran wanita yang cantik adalah wanita yang mempunyai hidung yang kecil. Menurut orang Turki, wanita yang cantik adalah wanita yang mempunyai perawakan yang kecil dan mungil. Menurut orang Indonesia, wanita yang cantik adalah mereka, yang matanya besar berwarna selain hitam, hidung mancung dan berkulit putih. Satu dengan yang lainnya mempunyai presfektif yang sangat berbeda.
Lalu, saya bertanya, “Apa sebenarnya kecantikan itu? Mengapa presfektif kecantikan itu begitu tidak pasti?”
Saya mempunyai beberapa pandangan tentang masalah ini, yang pertama kecantikan fisik memang terbatas ruang dan waktu, ia tidak pasti, selalu berubah-ubah bergantung pada kapan ia dibudidayakan dan di mana ia diinginkan. Bisa dikatakan, jika saya orang tercantik di Jepang, belum tentu saya akan menjadi orang tercantik juga di India. Jika saya mempunyai paras yang cantik dan tubuh yang atletis di umur 20-an, belum tentu setelah saya di atas umur 80 saya masih mempunyai itu.
Namun jika kita pikirkan lagi, “Apakah ada standart kecantikan yang abadi? Melawan semua hukum ruang dan waktu di bumi?” jawabannya tentu ada, yaitu kecantikan jiwa. Saya tinggal satu atap bersama orang-orang dari berbagai etnis dan budaya yang berbeda, namun saya masih bisa diterima oleh mereka. Padahal fisik kita 100% berbeda, latar belakang kita berbeda, bahasa ibu kita berbeda, semuanya berbeda. Mengapa kita masih bisa hidup dengan damai bersama? Karena jiwa yang saya dapat mengenali kecantikan dari jiwa mereka, dan begitu pun sebaliknya. Tidak peduli mereka berasal dari India, Pakistan, Aljazair, mereka masih bisa menerima saya dengan senang. Saya pun begitu, tidak peduli mereka berasal dari mana, saya mampu menerima mereka dan nyaman berada di sekitar mereka, karena kecantikan jiwa mereka.
Mengapa kecantikan jiwa mampu menembus ruang dan waktu? Karena semua orang melihatnya cantik adanya di mana pun dan kapan pun ia berada. Jiwa yang cantik di Indonesia ketika berhijrah pindah ke negara lain akan tetap dikenali kecantikannya. Bahkan sebut saja jika seseorang dengan jiwa yang cantik sudah tidak bermukim lagi di bumi, sering kali orang-orang yang masih hidup mengenang kecantikan jiwa yang dimilikinya. Kecantikan jiwa tidak terkurung dengan tempat, ia akan begitu bebas menembus kapan pun dan di mana pun ia mempendarkan kecantikanya.
Sokrates, Filusuf Yunani kuno, pernah berkata “Tujuan tertinggi kehidupan manusia adalah membuat jiwanya menjadi sebaik mungkin. Karena Jiwa sebagai intisari diri manusia.” Pernyataan Sokrates mendukung pendapat saya akan kecantikan jiwa lebih penting dari pada kecantikan fisik, karena jiwa merupakan intisari dari manusia, bukan fisik.
Pendapat saya yang kedua yaitu, sebagaimana dengan foto planet Jupiter, Saturnus dan Pluto di atas. Di era teknologi manusia belum secanggih sekarang, objek tersebut terlihat sangat tidak menarik, bahkan jauh dari kata cantik atau indah. Namun, di era sekarang, teknologi manusia sudah improve, mereka mampu menangkap kecantikan benda-benda langit dengan sangat jelas. Pertanyaannya adalah, “Apakah dulu, dikarenakan manusia tidak mampu menangkap kecantikan planet-planet tersebut, menjadi alasan mereka itu jelek?”
Terkadang kita melihat seseorang itu jelek atau tidak menarik, dan pikiran kita menetapkan mereka memang jelek pada adanya. Namun, sebenarnya perlu dipertanyakan juga, kemampuan daya pengindraan kita apakah sudah memadai atau tidak untuk menangkap kecantikan dari seseorang tersebut. Sama seperti benda-benda langit di jaman dahulu, mereka begitu terlihat tidak menarik yang di mana teknologi manusia lah yang belum bisa menjangkau kecantikan mereka, bukan penampakkan mereka yang tidak cantik.
Kedua pendapat ini, mengobati betul rasa sakit hati saya atas komentar-komentar negatif mengenai fisik saya. Saya pikir tidak ada lagi kesedihan jika nanti saya dikatain “Muka mu jelek!” atau “Badan mu kayak gajah bengkak.” Karena saya tahu ada masalah di mata mereka sehingga mereka tidak mampu melihat kecantikan di jiwa saya.
Saya harap para wanita di luar sana yang masih struggle dengan kondisi fisiknya tidak memenuhi standart kecantikan di Indonesia, dapat membaca artikel ini. Mempelajari sekiranya sedikit dari apa saya bagikan. Kamu tidak perlu bersedih karena mereka bilang fisik mu jelek selama kamu tahu jiwa mu seindah bunga yang mekar menyambut matahari pagi.
0 Comments