Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan total wilayah darat dan laut mencapai 10 juta kilometer persegi, terbentang sebanyak 17.504 pulau dari barat ke timur. Inilah negara yang paling rentan hancur. Dari segi geografis saja bentuknya sudah berkepingkeping. Ini disebabkan, ketika massa es yang besar yang menutupi permukaan bumi pada periode glasial beberapa ribu tahun lalu meleleh, maka menurut para ahli geografi, level laut meningkat sekitar 60 meter dan tanah rendah di Asia Tengggara tenggelam, sehingga terbentuklah pulau-pulau Sumatra, Kalimantan, Jawa dan Bali.
Mengapa disebut negara yang paling rentan hancur?.
Pertama, Kepulauan Indonesia adalah salah satu wilayah paling vulkanik di dunia. Dari Sumatera bagian barat laut sampai Jawa dan Kepulauan Sunda lalu naik lewat Maluku ke arah Filipina, gunung-gunung berapi sambung menyambung membentuk garis tak terputus. Gugusan pulau inilah yang paling sering mengalami letusan gunung dan gempa bumi. Selain itu, posisi Indonesia terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik, yakni Eurasia, Indo-Australi dan Lempeng Pasifik. Lempeng benua ini hidup, setiap tahunnya mereka bergeser atau menumbuk lempeng lainnya dengan jarak tertentu.
Insitut Seismografi Jakarta mencatat, dua tiga gempa kecil terjadi setiap harinya. Bahkan kepulauan Indonesia dengan letak dekat khatulistiwa menjamin curah hujan melimpah. Bogor, kota dekat Jakarta, patut berbangga dengan tercatat sebagai salah satu tempat paling banyak petir di bumi dan mengalami badai guntur terbanyak di dunia, 322 kali setahun. Dengan kondisi geografis yang demikian, tidak pernah dalam setahun Indonesia absen dalam mengalami bencana alam. Bahkan letusan gunung api paling mematikan dan paling merusak dalam sejarah dunia modern adalah letusan Krakatau tahun 1883. Krakatau adalah kepulauan vulkanik yang masih aktif dan terletak di Selat Sunda, antara Pulau Jawa dan Sumatera. Dampak letusannya dirasakan di penjuru dunia.
Kedua, Indonesia adalah negara yang paling majemuk penduduknya. Dengan letak di jalur laut utama antara Asia bagian timur dan selatan, membuat terdapat populasi yang terdiri atas beragam ras di Indonesia. Keadaan linguistik dan rasialnya sangat kompleks. Ratusan bahasa dipercakapkan di Kepulauan Indonesia. Tidak ada satupun pulau, betapapun kecilnya, yang penduduknya tidak campur baur secara rasial. Merujuk pada sensus penduduk oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, Indonesia memiliki sekitar 1.340 suku bangsa.
Jika merujuk ke banyak negara yang konflik internalnya dipicu oleh perbedaan suku dan ras padahal hanya terdiri dari beberapa suku dan ras saja, maka semestinya menurut teori sosiologi, Indonesialah negara yang paling gontok-gontokan sedunia, dan paling rawan mengalami disintegrasi sosial.
Namun meski menjadi negara yang sangat rawan berantakan dengan pontensi bencana alam yang tinggi serta dengan kekompleksitasan masyarakatnya, Indonesia tetap menjadi negara yang utuh, setidaknya sampai di usia 76 tahun kemerdekaannya sebagai republik yang berdaulat. Apa yang menyebabkan?. Jawabannya adalah karakter asli masyarakat Indonesia yang memiliki solidaritas yang tinggi. Solidaritas inilah yang melahirkan semangat kegotong royongan. Gotong royong merupakan kepribadian bangsa dan merupakan budaya yang telah berakar kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak dulu kala.
Disetiap wilayah yang terdampak bencana, masyarakat Indonesia dengan semangat seperasaan dan sepenanggungan akan saling membantu, tanpa perlu menunggu intruksi dari pemerintah atau berharap mendapatkan keuntungan finansial dan material dari bantuan yang diberikan. Kita bisa lihat, betapa parahnya dampak kerusakan dan kehancuran yang diciptakan bencana tsunami di Aceh tahun 2004. Kurang lebih 500.000 warga yang kehilangan tempat tinggal dari bencana dahsyat tersebut. Namun dengan solidaritas sosial yang tinggi dari masyarakat Indonesia, Aceh bisa kembali bangkit dan bergeliat kembali kehidupannya.
Di masa pandemi ini, solidaritas kembali ditumbuhkan. Kelompok yang berkemampuan bergotong royong membantu mereka yang terdampak pandemi. Melalui pengumpulan donasi, pembuatan dapur umur, pembagian sembako, masker dan handsanitizer gratis sampai pada menghidupkan usaha kecil menengah.
Begitupun dalam kehidupan sosial, meski hidup di bawah bayang-bayang perpecahan dengan kerumitan multikultural yang ada, masyarakat Indonesia tetap bersepakat dan setia untuk hidup bersama selama 75 tahun ini. Dengan ideologi Pancasila hasil rumusan founding fathers Indonesia yang lahir melalui proses dialektika yang sangat tinggi, masyarakat Indonesia menjadi memiliki pegangan yang lebih jelas. Jika di Timur Tengah, satu suku bangsa (baca: Arab) memilih terpecah menjadi banyak negara, sementara di Kepulauan Nusantara, banyak suku bangsa memilih hidup di bawah satu negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan rumusan, solidaritas lahir dari kebersamaan dan kebersamaan meniscayakan adanya saling membantu yang terwujudkan dalam aktivitas gotong royong, maka menjadi keharusan, kebersamaan tersebut dirawat dengan toleransi atau sikap tepa selira. Dengan enam agama resmi, Indonesia dikenal sebagai negara yang paling tinggi angka toleransi antar umat beragamanya. Toleransi beragama yang tinggi sedari dulu telah ditunjukkan oleh umat beragama di Indonesia, baik yang Muslim, Kristiani maupun yang lainnya. Apabila satu pemeluk agama tertentu suatu ketika membangun tempat ibadah, tidak jarang kemudian dibantu oleh umat agama lain.
Demikian halnya dalam pembangunan Mesjid Agung Istiqlal. Mesjid yang merupakan mesjid terbesar di Asia Tenggara pada masanya, dalam proses pembangunannya telah menyimpan satu sejarah toleransi beragama yang sangat tinggi. Disebutkan demikian, karena sang arsitek dan wakil kepala proyek pembangunan mesjid tersebut adalah penganut Kristen Protestan yang taat. Friedrich Silaban yang oleh Bung Karno menjulukinya sebagai by the grace of God. Kebesaran jiwa dari umat Islam juga sangat jelas terlihat. Mereka mau menerima pemikiran atau desain tempat ibadah mereka dari seorang yang non muslim, bahkan memberi penghargaan kepada Friedrich Silaban dengan menyebut Qubah Mesjid Istiqlal sebagai “Silaban Dom”, atau Qubah Silaban.
Silaban dan kaum beragama di negeri ini mengukir sejarah, suatu sejarah yang lebih tinggi dari karya sebuah hasil seni atau teknologi. Sejarah kemanusiaan, kebersamaan, toleransi yang tidak akan terlupakan sampai kapanpun. Karenanya, keanekaragaman yang selama ini ada menjadi tonggak bhineka tunggal ika yang kuat dalam menopang berdirinya bangsa Indonesia, mesti tetap dipertahankan.
Pluralitas dan multikulturalitas bagi bangsa ini merupakan suatu keniscayaan; sesuatu yang memang harus ada dan tak terbantahkan. Pluralitas dan multikulturalitas yang kita miliki ini telah menciptakan mozaik yang indah dalam tampilan fisik manusia dan budaya Indonesia di sepanjang perjalanan sejarahnya. Karenanya, untuk bisa mencapai Indonesia Emas di 100 tahun peringatan kemerdekaannya, solidaritas harus terus dijaga dan dipupuk. Tidak boleh ada tempat di Indonesia yang memberi ruang pada intoleransi, egoisme sentris dan arogansi politik untuk tumbuh subur.
Hanya dengan solidaritas dan kebersamaanlah memungkinkan kita mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa, yaitu terangkatnya harkat dan martabat bangsa Indonesia supaya sejajar dan terhormat bergaul diantara bangsa-bangsa di dunia. Dengan solidaritas tanpa batas yang tetap dalam frame Pancasila dan UUD 1945 masyarakat Indonesia akan mencapai masa kejayaan di 100 tahun pertamanya bernegara. Indonesia tangguh, Indonesia tumbuh!.
Dirgahayu RI ke-76

050105-N-5376G-019
Island of Sumatra, Indonesia (Jan. 5, 2005) – Indonesian children smile and cheer as U.S. Navy helicopters from USS Abraham Lincoln (CVN 72) fly-in purified water and relief supplies to a small village on the Island of Sumatra, Indonesia. Helicopters and aircraft assigned to Carrier Air Wing Two (CVW-2) and Sailors from Abraham Lincoln are supporting Operation Unified Assistance, the humanitarian operation effort in the wake of the Tsunami that struck South East Asia. The Abraham Lincoln Carrier Strike Group is currently operating in the Indian Ocean off the waters of Indonesia and Thailand. U.S. Navy photo by PhotographerÕs Mate 3rd Class Benjamin D. Glass (RELEASED)
0 Comments