Hentikan Mengerdilkan Kartini

April 21, 2018

}

20:08

“Banyak hal yang bisa menjatuhkanmu. Tapi satu – satunya hal yang benar – benar dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri.”

[RA. Kartini]

Hari ini 21 April secara nasional diperingati sebagai hari Kartini, untuk apa? Ya untuk mengenang Ibu Kartini yang lahir 21 April 1879. Buat apa dikenang? Ya supaya semangat dan cita-citanya untuk memberdayakan dan mencerdaskan kaum perempuan tetap hidup meski beliau telah lama berkalang tanah.

Hari-hari peringatan tokoh dibuat untuk terus menjaga kenangan akan tokoh-tokoh yg telah berjasa bagi kemanusiaan dan peradaban, agar perjalanan hidupnya yang diceritakan kembali bisa terus menginspirasi setiap generasi. Agar semangat dan cita-citanya tetap menggelora dan menjadi penggerak generasi sekarang untuk berbuat yang lebih baik. Mengenang jasa pahlawan, untuk menjadi bangsa yang besar. Sebagaimana yang dipesankan Bung Karno, bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenang jasa-jasa pahlawannya. Memperingati Ibu Kartini, agar menjadi bangsa yang tahu balas budi dan tahu diri.

Tentang masih banyak tokoh pejuang perempuan yang lebih layak diperingati dan diagungkan hari lahirnya dari RA Kartini, tentu kita sepakat. Tapi tidak lantas mencari kekurangan Kartini untuk menunjukkan ketidaklayakannya, tidak lantas membuat kita mesti mencari-cari celah untuk mengkerdilkan peran Kartini.

Sangat disayangkan, fenomena sekarang tidak sedikit kita temui sekedar untuk menunjukkan ketidak layakan RA Kartini, ia dibandingkan dengan perempuan pejuang lainnya yang dinilai jasanya jauh lebih besar. Punya banyak teman orang Belanda, Kartini disebut jongos Belanda. Karena dipingit, ia disebut priyayi yang tidak sekalipun merasakan bau mesiu perlawanan. Bahkan karena posisinya sebagai istri keempat, ia dibully kelompok aktivis perempuan anti poligami.

Padahal juga mesti kita ketahui, ditengah tradisi keluarga yang ketat, dimasa ia dipingit, disaat perempuan dipasung daya nalarnya, pikirannya mengembara jauh meninggalkan fisiknya. Ia menulis, menggugat dan berkarya.

Ia perkenalkan seni dan budaya nusantara ke manca negara melalui sura-surat-nya. Ia pamerkan seninya menjadi perempuan nusantara keteman-teman Eropanya. Ia begitu mencintai agamanya dan dan betapa bangga dengan keyakinannya. Kartini berjuang dengan cara yang ia bisa.

Yang lain bisa saja masih buta huruf, saat dia sudah melahap Majalah terkenal seperti Maatschappelijk werk in Indie, De Gids, De Hollandsche Lelie, De Locomotief sampai karya Multatuli berjudul Max Havelaar. Ia juga membaca karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata).

Bisa saja kita mengelak, ya wajar pintar baca karena dia priyayi, sementara yang kebanyakan lainnya bukan. Ya karena dia pintar baca itulah ia memperjuangkan nasib bangsanya melalui tulisan. Kartini memprotes adat dan tradisi yang tidak adil. Ia menuntut agar pribumi juga diberi hak pendidikan. Ia memanfaatkan jabatan dan posisi suaminya yang Bupati Rembang dengan mendirikan sekolah perempuan, yang meskipun dengan itu sebelumnya ia rela menjadi istri keempat. Itu semua agar sebanyak-banyaknya dari bangsanya juga bisa pintar membaca.

Kartini menulis tidak hanya Door Duisternis Tot Licht (Dari Gelap Terbitlah Terang) tapi juga dua buku kebudayaan, Het buwelijk bij de Kodjas (Upacara Perkawinan pada Suku Koja) dan De Batikkunst in Indie en haar Geschiedenis (Kesenian Batik di Hindia Belanda dan Sejarahnya). Buku inilah yang membuat budaya nusantara dikenal dunia, bukan hanya rempah-rempahnya.

Yang dilakukan RA Kartini tidak lebih besar dari apa yang telah dipersembahkan oleh Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Maipa Deapati, Martha Cristina Tiahahu, tapi mengapa sampai saat ini RA Kartini lebih populer?
Karena dia menulis, dan tulisannyalah yang membuat namanya tidak bisa ditenggelamkan pusaran sejarah. Verba volant, scripta manent, yang dibicarakan akan lenyap, yang ditulis akan abadi.

Surat-suratnyalah yang membuat perempuan nusantara tidak diremehkan. Bahwa perempuan nusantara juga bisa gelisah, bersuara dan berjuang. Sayang ia mati muda diusia 25 tahun, sementara kebanyakan kita, meski usia sudah melewati itu, serta dengan fasilitas yang serba memudahkan, belum juga ada yang bisa kita persembahkan bagi orang banyak.

Disisi lain, yang tidak kalah memprihatinkan, esensi peringatan hari Kartinipun juga dikerdilkan. Setiap hari Kartini diperingati, yang ditonjolkan adalah kejawaannya, kebayanya, sanggulnya, sari kondenya dan kelemahlembutannya. Bukan semangat protesnya, kepedulian kepada bangsanya, kegigihannya melepaskan diri dari belenggu kebodohan dan keterkungkungan, kecerdasan pemikirannya yang melampaui perempuan-perempuan dimasanya, ebanggaan dan kecintaannya kepada agamanya yang menggebu. Yang diperlombakan kebanyakan bagaimana meniru tampilan fisiknya, bukan bagaimana mengadopsi kelihaiannya menulis. Yang ditiru model kepalanya, bukan isi kepalanya.

Yang perlu disadarkan pada generasi kita, RA Kartini itu memperjuangkan kaum perempuan bangsanya untuk harum namanya, bukan untuk harum badannya, tebal bedaknya, warna warni gincunya dan glamour jalannya.
Ibu kita Kartini, membela kaumnya untuk menjadi putri Indonesia yang sejati, bukan putri-putrian.

Semoga peringatan hari Kartini tahun ini, bisa jadi refleksi bagi kita semua, untuk lebih memaknai dan menghikmahi perjuangan dan cita-cita Ibu kita Kartini. Ibu kita Kartini, harum namanya sepanjang negara ini tetap berdiri.
Selamat memperingati hari kelahiran Ibu Kartini, yang singkat usianya, tapi panjang cita-citanya untuk kemanusiaan.

Ismail Amin
Kep. Departemen Kajian Strategis dan Intelektual IPI Iran 2018-2019

Artikel Lainnya

Komentar

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Penulis

Share artikel ini

Follow Instagram IPI IRAN

Baca Juga

[wpb-random-posts-list]